“Ketika leluhur orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka bukan bawa agama sebagai orang Arab atau orang Barat. Tetapi, mereka bawa makanan yang lambat laun menjadi makanan rakyat Indonesia jelata.” Penggalan kalimat ini disampaikan oleh Kwee Kek Beng dalam prasarannya berjudul ‘Sumbangsih Apakah yang Dapat Diberikan oleh Warganegara Indonesia Keturunan Asing kepada Pembinaan Kebudayaan Nasional Indonesia? '.
Kalimat tersebut lantas diperkuat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Hoakiau di Indonesia. Walaupun bangsa Barat ke Indonesia membawa keju dan mentega, kepopulerannya tak bisa menandingi makanan Tionghoa nan murah seperti tahu, takwah, kecap, bakmi, teh, taoco, sayur asin dan sebagainya. Tutur Pramoedya.
Sebagai salah satu makanan khas Tiongkok, tahu memiliki sejarah tersendiri di bumi nusantara. Istilah tahu terdiri dari dua suku kata Tionghoa yakni tao/teu yang berarti kacang kedelai dan hu berarti hancur. Menurut sejarawan JJ Rizal, tahu disajikan orang Tionghoa di nusantara pada abad ke-10. Namun terbatas di kalangan elit. Ungkapnya seperti dilansir Historia.id.
Menginjak abad ke-19, warga pulau Jawa dilanda kelaparan dan kekurangan gizi akibat cultuurstelsel (Tanam Paksa). Sumber pangan mulai sulit, saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif. Dan tahu menjadi penyelamat krisis orang Jawa dari masa krisis asupan gizi. Kini, keberadaan tahu menjadi makanan merakyat. Bahkan menjadi sebuah ikon khas dari salah satu kota di Jawa Barat, Sumedang. Kemasyhuran tahu sumedang sudah tak asing lagi bagi kita semua.
Foto : Ilustrasi gambar penyajian tahu Sumedang © ensiklopediaindonesia.com
0 komentar :
Post a Comment